Dikadoi Katak Hidup
Mungkin hal yang paling kusyukuri selama bekerja di sana adalah hubunganku dengan Kak Rizka. Kami berteman baik, menjadi rekan yang baik, dan tidak pernah bertengkar. Mendekati perdebatan pun tak pernah. Entah karena sedikit lebih tua dariku, atau dia memang begitu positif, aku sampai-sampai tak bisa mengingat satu hal buruk pun tentangnya.
Bahkan, kurasa di dunia ini, Kak Rizka adalah orang yang paling paham cara menasehatiku, bagaimana berbicara denganku agar aku tak tersinggung sembari menyampaikan maksudnya, sesuatu yang Savira, temanku sejak SD, tak pernah bisa lakukan. Setiap kali Vira menasehatiku, aku selalu merasa digurui olehnya, jengkel, dan kesal. Tapi Kak Rizka, luar biasa, entah apa yang bisa membuatnya sebaik itu aku pun tak tau.
Setelah aku diberhentikan dengan alasan kesehatanku yang buruk, aku mulai banyak merenung. Kuingat sejak SD, aku tak pernah bisa menyelesaikan upacara, berlanjut hingga SMP dan SMA. Saat mulai memasuki momen pidato, aku selalu goyah, pandanganku menghitam. Alhasil aku diangkut ke UKS, atau setidaknya dipersilahkan duduk di ujung barisan. Dan karenanya, aku selalu menyadari bahwasannya diriku ini lemah, tapi hal itu selalu terbantahkan oleh giatnya aku berolahraga.
Langkah kakiku saat berlari menyangkal semua perasaanku itu, atau tubuhku yang berenang tanpa lelah juga menentangnya. Dari Sidomulyo sampai Kartama aku pernah berlari tanpa henti. Baru pula kemarin aku berenang bolak balik 25 kali.
Namun saat si ibu HRD mengatakan ‘Kamu kan sering sakit, jadi gimana kalau di rumah saja dulu’ rasanya keminderanku, keraguanku akan diriku sendiri, dikonfirmasi olehnya.
Meski suaranya lembut dan wajahnya dibuat seramah mungkin, tetap saja omongannya terasa amat kejam. Di jalan, sepulang kantor hari itu, aku menangis sejadi-jadinya, mungkin karena sebelum pulang aku melihat Bang Surya melambaikan tangannya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya, seolah menyampaikan pesan perpisahannya.
Setiba di rumah aku tak langsung mengatakannya kepada ibu. Aku pandangi buku-buku di rak, membaca judulnya yang sudah lama kuhafal satu persatu, sambil memikirkan kalimat apa kiranya yang bisa membuat ibu nanti mengerti.
Lalu kubaca buku ringan, novel karangan Haruki Murakami, separuh koleksi buku abangku adalah karyanya. Gaya tulisnya ringan, ceritanya juga ringan, tapi tak satupun bisa kupahami, mungkin karena hatiku kacau, pikirku.
Lalu kuluruskan niat, kubilang pada ibu tentang apa yang terjadi di kantor, mimik wajah ibu HRD itu pun kujelaskan secara rinci pada ibuku. Setelah itu kuhaturkan bahwa aku masih akan tetap menulis di sana, tapi statusku sudah tidak lagi karyawan, hanya pekerja lepas, artinya mereka bisa saja sewaktu-waktu menendangku dengan mudahnya, dan aku sudah tidak perlu lagi ke kantor mulai sekarang.
Lalu ia memaksakan senyumnya, mengambil nafas, ‘Memang udah jalan Ame keluar dari situ, kan udah lama juga mau resign, gak jadi-jadi’ katanya.
Kalau ditanya, apa yang kupikirkan saat ibu HRD itu menyodorkan kontrak kerja lepas ke hadapanku, aku tak begitu ingat persisnya. Yang ku tau, setelah dua detik berjalan keluar dari ruangannya, aku teringat bahwa kemampuanku hanya menulis, dan hobiku hanya membaca, betul betul di situ situ saja. Jadi ketika mereka memutuskan untuk mengusirku seperti itu, aku tak tau lagi harus berbuat apa, berpikir ke depan akan melakukan apa pun aku tak sanggup. Seolah duniaku ini direnggut paksa dari genggamanku, padahal tanganku sudah kukepal kuat-kuat.
Sesuai dugaanku, saat menceritakannya kepada Vira, ia mulai menyumpah-nyumpah, setiap ujung kalimatnya dibubuhi carut marut. Kesal betul dia dengar alasan kantor untuk memberhentikanku. Lalu setelah puas mengata-ngatai kebijakan kantor, ia menenangkanku ‘Semoga kau dapat kerjaan yang lebih baik ya beb, jangan bersedih brader’ dan seperti dugaanmu, perkataannya itu sama sekali tak menenangkanku. Jadilah kami, dua pengangguran yang terbahak-bahak menertawai nasib kami. Betul-betul mengetawai nasib sendiri. Rasanya geli, tapi lega.
Beberapa hari berlalu, Aak menyambangi rumahku. Kami pergi ke tukang urut, beberapa waktu lalu dia jatuh, dan tangannya sulit digerakkan ke atas. Di sepanjang perjalanan kuceritakan kisah yang sama. Dia sempat terheran-heran, dan menanyakan aku sakit apa. Setelah menjelaskan lebih rinci padanya, Aak langsung menyimpulkan seluruh kejadian.
Mungkin di kepalanya seketika muncul memori memori kala aku mengeluhkan kerjaanku, termasuk kekesalanku karena tetap harus bekerja di waktu libur, dan rencana-rencanaku ingin cepat-cepat keluar dari sana, lalu tanpa ragu ia katakan ‘Kan dari dulu juga kan orang (Ame) pengen keluar dari sana?’
Si aak ini, meski kadang aku sebal dengan kelakuannya yang asal ketemu main game itu, ada baiknya juga. Dia itu tidak pernah memotong omelanku, meski matanya tertuju ke ponselnya, dia tetap merespon ocehanku. Dan responnya itu selalu tepat sasaran.
Kadang perempuan cuma butuh itu. Kalau cerita ke Vira pasti dia memotong omelanku, lalu menimpali dengan kisah kelamnya sendiri, seakan-akan mengatakan hidup kita ini sama saja, aku pun merasakannya. Padahal terkadang aku hanya ingin mengomel saja, dan didengarkan. Tapi begitulah perempuan. Dan bercerita dengannya seperti sudah syarat. Aneh jika sesuatu sedahsyat ini tak kuceritakan padanya. Lagipula repot juga kalau dia tau sendiri, pertanyaannya tentu akan lebih banyak, ‘Kok kau gak cerita?’
Beberapa hari setelah diberhentikan, aku mulai mengabari kawan-kawanku, semuanya memberikan emosi serupa, marah-marah dan tak terima aku dibeginikan. Lebih-lebih si Dipa, habis dikata-katainya kantor itu.
Dan meski sama sekali tak menggubris kesialanku di grup obrolan, Linda mengirimiku pesan secara pribadi, menyampaikan belasungkawa, dan kesetujuannya dengan kantor soal kondisi kesehatanku.
‘Aku memang tak akan selalu ada untuk kau, kau pun begitu, kita, teman-teman kita, sudah mulai menata hidupnya masing-masing,’ seingatku begitu dia mengakhiri pesannya.
Oh iya, walaupun bukan tipe yang begitu mementingkan hari ulang tahun (kalau ditanya umur berapa suka bingung dan lupa), aku cukup sedih juga lantaran dirumahkan tepat sehari setelah hari kelahiranku. Rasanya seperti dikadoi katak hidup. Kotak kadonya manis dan bagus, seumpama mimik wajah ibu HRD hari itu, tapi omongannya seperti katak, membuatku kaget dan takut karena meloncat-loncat.
Hanya beberapa hari setelah hari buruk itu, aku pergi bersama kakak dan kakak angkatku, Kak Beti. Kak Beti dan adik-adiknya sudah ikut merawat dan mengurusku sejak bayi. Jadi rasanya jahat jika tak menganggapnya bak kakak sendiri. Kami pergi makan dan minum kopi, sesaat rasanya aku bisa melupakan kesialan yang baru saja menimpaku.
Sekalian, akan kusampaikan bentuk apresiasiku terhadap Kak Beti di sini.
Jiwa yang baik, hati yang tulus, kurasa sedikit kebaikan yang kalian lihat didiriku hari ini, kudapat dalam naungan keluarganya. Ayah Kak Beti adalah yang mengajariku cara membaca dan melihat jam, juga hitung berhitung. Sementara adiknya mengajariku cara menyebut huruf R, memandikanku, dan mengajakku ke sana sini semasa kecil. Tapi Kak Beti adalah yang paling banyak ambil peran. Kak Beti selalu mengantarku berobat sejak usiaku 5 tahun, ibuku betul-betul hanya bisa mengharapkannya. Sekali sebulan diantarnya aku berobat gigi, kini aku dibayarinya makan, cerita dan keluh kesahku didengarnya. Makanya kalau ada yang menyinggung hatinya, rasanya hatiku pun remuk. Semoga Allah selalu berbaik-baik kepada Kak Beti.
Hingga hari ini, Bang Surya lah yang rutin menanyai kabarku. Apa kegiatanku, sudahkah dapat pekerjaan baru, di sini ada lowongan kerja, di sana ada ini dan itu. Pernah juga sekali dua kali Bang Wira mengabariku, katanya sepi sepeninggalanku.
Kegiatanku belakangan hanya membaca buku yang itu-itu saja. Dan kubaca juga buku yang kubeli beberapa bulan lalu namun belum sempat kubaca seluruhnya. Aku juga membeli beberapa buku baru. Aku juga sesekali pergi berenang, dan menyambangi kedai Kak Beti hampir setiap hari.
Malam ini, saat menulis tulisan ini, aku tak tidur. Sekarang sudah pukul 3.58, sejak pertama kali aku merangkai kata di pukul 01.20.
Comments
Post a Comment