PEOPLE AND INSTAGRAM


‘Using social media today is not a thing, but not using it, is a thing. Especially instagram’. Kalimat ini ‘stuck’ dipikiran saya setelah beberapa hari yang lalu saya putuskan untuk berhenti sejenak berinstagram. Bagaimana tidak, banyak sekali pesan masuk berbau introgasi perihal akun instagram saya yang tiba-tiba menghilang. “Are you blocking me on instagram?”, “Are you okay?”, “You broke up, right?”, “Are you trying to be the next Awkarin?”. Saya jadi menyadari bahwa eksistensi saya di instagram tidaklah pernah dipertanyakan, tidaklah pernah sepenting absensi saya di instagram. Saya juga tidak pernah dipuji atas waktu yang saya habiskan berjam-jam di isntagram, tetapi beberapa jam saja saya menghilang, saya sudah dipertanyakan.

Beberapa waktu lalu, Awkarin memutuskan untuk berhenti menggunakan instagram, walaupun akhirnya ia kembali dengan dalih ‘I want to share only happiness’. Tentu saja hal ini oleh teman-teman seperguruan, seperumahan, di kait-kaitan dengan saya. Tidak, bukan Awkarin alasan saya. Mungkin sebagian pembaca juga merasa heran, apa pentingnya saya menulis tulisan ini, mengingat saya hanyalah satu diantara berjuta-juta pengguna instagram yang identitasnya sama sekali tidak dibutuhkan. Bukan juga selebgram seperti si Awkarin ini yang dengan pengikut hampir menyamai jumlah penduduk Singapura, ia sudah bisa menciptakan negara berbasis online. Atau apabila semua pengikutnya sepakat, mereka sudah bisa membuat suatu paham dengan Awkarin sebagai pemukanya. LOL.

Berbicara mengenai alasan, mungkin kata yang paling cocok untuk mendefinisikannya adalah ‘insecurities’. Sebelum mengenal instagram, kurang lebih 4 atau 5 tahun yang lalu, saya tidak pernah perduli dengan appearance, baik pakaian, make ups, brand, likes, comment, berat badan, you name it. But today, It matters, semua saya prioritaskan, semua menjadi masalah. Sebenarnya, bukanlah buruk untuk menyadari bahwa kita seharusnya terlihat cantik, bahagia, keren, dan lain-lain. Masalahnya adalah kita merasakannya terlalu berlebihan, malah terkadang cenderung memaksakan.

Di instagram, kita berkompetisi untuk terlihat bahagia, dan sempurna. It’s a nightmare to forget using lipsticks, why? “Karna nanti kalau difoto, jelek”. “Pokoknya aku harus kurus biar kayak dia”. “Gimana ya biar keliatan lebih tinggi?”. ”Gimana ya caranya buat alis?”. And we took so many selfies all day, just to get likes and nice comments. Dan jika kalian juga melakukan monolog-monolog ini kepada diri kalian sendiri, maka kalian juga termasuk kedalam kategori insecure. So I asked myself, am I happy? Apakah mendapatkan likes yang banyak benar-benar membuat saya bahagia? Jika iya, atas dasar apa? Lalu apa yang akan terjadi jika suatu hari nanti saya tidak mendapatkan likes lagi? Is this what I need? Apa sebenarnya kegunaan likes di kehidupan saya? I am definitely addicted. Ada perasaan kecewa ketika jumlah likes dipostingan saya tidak sesuai dengan ekspektasi, jangan merasa ini tidak terjadi pada anda, siapa disini yang belum pernah me-refresh notifikasi instagramnya berulang-ulang kali hanya untuk memastikan jumlah likes-nya bertambah. Jangan lagi berdalih “I wasn’t born to please people”, karna berselfie dengan gaya dan dari angle yang itu-itu saja, sudah menunjukkan bahwa we are all trying so hard to please people. Kita berusaha terlihat sesempurna mungkin, secantik mungkin agar orang-orang memberi pujian, mungkin tidak secara verbal, akan tetapi melalui likes.

And there are people who post their vacation photos, duduk di tepi pantai dengan background matahari terbenam. And I’m like “F*ck off”, “Kapan ya aku bisa liburan juga?”, “Enak ya jadi dia”. Dan kita mulai membanding-bandingkan kehidupan kita dengan mereka. Memiris-miriskan kehidupan kita sendiri. “Im fat”, “why I can’t be like her, she’s such a beautiful” Kita mem-body-shamming-kan diri kita sendiri, tanpa kita sadari. Merasa kitalah orang yang paling sangat tidak beruntung dimuka bumi ini, yang paling gendut, yang paling kurus, yang paling tidak cantik, hanya karna melihat postingan manusia-manusia yang juga dengan susah payah mencari angle terbaiknya, agar terlihat seperti yang kita pikirkan.

Yang senasib dengan saya, mulailah dari mengakui bahwa akhir-akhir ini, yang paling kita pentingkan adalah penampilan. Padahal sejatinya penampilan hanyalah sekedar penunjang. Yang teramat penting adalah isi kepala. Kita terlalu sibuk mempercantik exterior padahal tidak ada yang ingin bertamu diperkarangan rumah kita. Bukan berarti kita harus terlihat jelek, lusuh, atau kusam, but make it balance. Kita sibuk men-scroll timeline instagram yang isinya itu-itu saja sampai kita lupa membaca buku, mengerjakan tugas, atau yang lebih sederhana lagi kita lupa caranya menikmati kehidupan kita tanpa perlu merekamnya dan mempostingnya di instastori. Jika ada teman yang bertingkah lucu, nikmatilah, tertawalah sepuas-puasnya. Lihatlah dari mata, jangan dari kamera. Dan untuk beberapa oknum pengguna instagram yang masih senang memposting hal-hal tidak penting semisal; rekaman dirinya sendiri yang sedang senyum-senyum, lalu manyun, lalu senyum lagi, manyun lagi, beli lah kaca, silahkan bermanyun-manyunan disana. Belum lagi beberapa oknum yang sibuk memposting daily activities mereka, mulai dari bangun tidur, sampai kembali tidur. Kalaulah daily activities-nya ini bermanfaat semisal; menggalang dana untuk korban bencana alam, rapat pemuda, berunjuk rasa untuk menegakkan feminism, maka tidak masalah. Tetapi kalau daily activities mu hanya seputaran wajah bangun tidur, makan siang, kuliah, lagu-lagu yang sengaja direkam, dan foto tiket nonton. Pikir lagi, apalah esensi dari itu semua. Namun meski begitu, tidaklah seseorang berhak untuk melarang seseorang untuk berbuat demikian, karna instagram sendiri adalah media yang sifatnya personal, dan kita memiliki hak penuh didalamnya. Terlepas dari itu semua, kita juga bertanggung jawab penuh atas apa yang kita posting, kita ucapkan, dan untuk apa kita gunakan.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya menegaskan; I don’t blame instagram. Systrom dan Kreiger tak pernah bersalah telah merancang instagram. Seperti Tuhan tidak pernah bersalah telah menciptakan ganja, tetapi bagaimana kemudian ganja itu disalahgunakan oleh beberapa oknumlah yang disebut kesalahan. Pun tidak semua konten-konten di instagram bersifat negative, hanya beberapa oknum yang sibuk merekam gorden dengan backsound lagu mellow, dan yang lebih tololnya ada juga yang dengan sengaja memposting screen shoot dana masuk keakun rekening mereka. Untuk orang-orang yang merasa terganggu dengan ini, tips dari saya adalah stay positive, siapa tahu ini kali pertama mereka menerima uang atau kali pertama mereka menggunakan tekhnologi sms banking yang bagi kita sudah mulai usang, atau jangan-jangan mereka adalah salah satu agen FBI yang sedang bertugas meringkus persatuan pencopetan, dan memposting screen shoot sms banking adalah termasuk kedalam strategi penangkapan. LMFAO.

Saya ingin kembali menegaskan, bahwa saya bukanlah orang yang tidak pernah memposting hal-hal yang tidak semestinya diposting, hal-hal yang tidak seharusnya dikonsumsi publik. Namun, sebagai seorang mahasiswa jurnalistik, dengan segala kerendahan diri saya teramat ingin menjadi agent of change (walaupun keinginan saya yang sebenarnya adalah menjadi agent mata-mata rusia). Saya ingin media digunakan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana mestinya.  Agar kita semua memahami literasi media, yakni bagaimana media itu sendiri dikonstruksikan, dan bagaimana seharusnya digunakan.

Dan sebagai salah seorang digital natives yang mana ialah generasi muda yang lahir saat internet telah menjadi bagian hidup mereka. Kehidupan mereka telah dikelilingi oleh internet sejak masih dalam kandungan hingga awal kelahiran mereka (Helsper & Enyon 2009, h. 1), saya tidak ingin internet, sosial media, dan tekhnologi itu nantinya malah menenggelamkan kita ke jurang kebodohan dan kesakitjiwaan. Seharusnya, internet, tekhnologi, terlebih sosial media memfasilitasi kita kearah yang lebih baik, memudahkan kita. Sebagaimana pernyataan Gaith (2010) mengenai digital natives bahwa gaya belajar siswa terbiasa serba cepat, menciptakan koneksi secara acak, memproses informasi visual dan informasi yang didapatkan kemungkinan lebih akurat yang artinya, internet dan tekhnologi berperan penting dalam memudahkan siswa untuk mendapatkan informasi. Dan semua yang saya tulis disini adalah juga sebagai self reminder, artinya saya pun sedang berusaha untuk mengimplementasikan apa yang saya tulis. Thank you.

Comments

Popular posts from this blog

Dikadoi Katak Hidup

To be continued..