FAR FROM HOME


Ayahku akhirnya mengiyakan permintaanku untuk pulang ke Aceh. Setelah perdebatan sengit 2 hari 2 malam dengan ibuku yang sejak awal memang memberi izin, tentu saja, Ibuku lahir dan besar disana. Seluk beluknya, sejarahnya, semua dia paham. Ayahku adalah ayah yang over-protective terhadap anak-anaknya, sejak kecil, aku tak pernah pergi jauh sendirian, tak pernah liburan bersama teman teman layaknya remaja seusiaku.

Dari Pekanbaru menuju Medan aku menaiki pesawat yang baru baru ini mengalami kecelakan, menghilangkan 125 nyawa dalam waktu kurang dari 30 menit. Citranya yang tak baik membuatku sedikit religius saat berada didalam pesawat, aku berdoa sepanjang jalan di 30 menit pertama, hahahahahahaha.

Sesampainya di Medan, aku dan sepupuku mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan. Kami hanya memiliki waktu hingga petang, karna malamnya kami harus berangkat ke Aceh. Di Medan kudapati kehidupan memang keras. Macet adalah sesuatu yang biasa, padatnya penduduk membuatku sesak. Disana klakson dibalas klakson, ada juga klakson di balas carut marut “woi anje** baek baek kau sikit ya” begitulah kira kira ucapan supir ojol yang aku tumpangi saat ia akan diserempet oleh kendaraan lain yang malah memberi isyarat klakson untuk minggir. Dan jujur saja aku tertawa, its like “i belong here man” hahahahahaha. no, just kidding.

Memasuki Aceh, kita akan disambut oleh lautan disepanjang jalan, suara ombak terkadang mengalahkan suara mesin superben tua yang melaju tak ingat usia. Rumah-rumah dibangun tepat di bibir pantai, “they have balls” ucapku dalam hati. Mereka (penduduk Aceh) seolah lupa akan apa yang pernah diperbuat laut kepada mereka. Kokohnya rumah-rumah yang mereka bangun adalah bukti kejantanan mereka.

Aceh memanglah kota seribu duka, tapi keberanian rakyatnya, patut kita puja. Dulu, saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sedang gempar-gemparnya, rakyat Aceh harus dibuat trauma oleh penganiayaan yang tiada habisnya. Kebetulan, pada zamannya, rumahku berada tepat disamping pos BRIMOB yang saat itu memang bekerja untuk mengawasi pemberontakan pemuda – pemuda Aceh yang tergabung di GAM. Ibuku menyebutnya dengan “sweeping”, dimana pemuda – pemuda akan diinterogasi dan disortir apakah mereka tergabung dalam front GAM. Tetua disana bercerita bahwa pemuda - pemuda tersebut akan dibawa ke gunung, lalu tidak pernah kembali lagi. Pemuda lainnya memutuskan untuk melarikan diri keluar kota, menghindari aparat – aparat yang merajalela.

GAM adalah gerakan orang Aceh untuk mempertahankan tanahnya, keinginannya untuk melepaskan diri dari Indonesia membabi buta. Kematian saudara – saudara mereka layaknya api yang senantiasa berkobar, menciptakan luka permanen dihati orang Aceh, tak jarang dari mereka yang membenci militer Indonesia. Sebagian tetua disana merasa sensitive jika ditanyai perihal GAM, mereka seperti baru terjatuh kemarin, lukanya masih memerah dan meradang.

Aku bukanlah orang Aceh seutuhnya, Ayahku berasal dari Sumatera Barat, lahir dan besar disana. Tapi tentulah aku orang asli Sumatera, pembawaan Sumatera dan berjiwa Sumatera. Etnosentrisme bukanlah kepiawanku, mungkin karna aku sendiri berasal dari 2 suku yang jauh berbeda. Untuk rasis pun aku tak bernyali, mengingat setiap suku dan ras punya kelebihan dan kelemahannya masing – masing. Dan berhentilah berstereotype pasal suku dan ras, karna itu perbuatan memalukan, #asik.
8 hari di Blangpidie, Aceh Barat Daya, membuatku gila. Selama disana aku mengidap homesickness parah. Hanya 2 hal yang membuatku merasa dirumah, pertama saat sedang ditelfon Ibuku, dan saat sedang ditelfon… sebut saja Uzumaki. Suara hangat mereka membawa angina segar dari Pekanbaru, kota yang sudah membesarkanku.

Belum lagi aku terkena infeksi virus kudis di kaki kananku yang karenanya aku tak bisa berjalan, bahkan mengenakan sandal pun terasa sulit. Ini menambah beban pikiranku selama di Blangpidie, syukurlah, tanteku yang bertempat tinggal di Tapaktuan cepat mengambil tindakan. Keesokannya aku sudah berangkat meninggalkan Pidie menuju Tapaktuan.

Di Tapaktuan, Aceh Selatan, rumahku berjarak 200 meter dari pantai, hanya membutuhkan waktu 1 menit mengendarai sepeda motor. Tinggal disana benar – benar seperti berlibur ke pantai setiap hari sepanjang hidup.

Aku menderita Thalassophobia, keadaan dimana seseorang mengalami ketakutan yang teramat dan terus menerus terhadap laut. Aku acap kali bermimpi tenggelam dan dimakan hiu – hiu buas dilautan, mimpi ini tak pernah kurang dari 3 x dalam sebulan, bahkan terkadang lebih. Sering kali karenanya aku terbangun dan tak lagi bisa melanjutkan tidurku. Aku tidak suka berimajinasi tentang pantai, bahkan menonton film berbau laut.

Di samping itu, aku juga merasa mengidap aquaphobia, keadaan dimana seseorang mengalami ketakutan terhadap air secara berlebihan. Hal ini jugalah yang menyebabkanku gagal dalam mengikuti tes penerimaan polri. Aku bisa berenang, tapi sering kali aku mengalami panic attack saat diberada didalam air.

Tapi semuanya runtuh saat di Aceh, berdiri di bibir pantai menghadap laut lepas membuatku tenang, walaupun gulungan ombaknya masih sedikit mengganggu. Aku tak berani mandi dipantai, berdiri diam melihatnya saja sudah pencapaian yang luar biasa.

Oh iya, selama di Aceh, kudapati diriku menjadi melankolis. Aku menulis beberapa kalimat yang tak pula bisa disebut puisi, sedikit kubumbui setelah sampai di Pekanbaru.
whenever I see the sea,
I see two things,
love and fear,
just the same way I see you.
its like I wanna dive,
knowing it would be beautiful.
but instead of dive,
I stay at the shoreline,
hanging and watching,
and its still beautiful.
if one day you wake up
and lost the love for me,
and there would also be one day,
that we could grow them back together too.
just like how much I hate the sea,
but when I see it,
it melt my heart.
and if I am the burden you always carry,
if I am the problem which make you crazy,
and if leaving me make you happy,
I’ll say goodbye with no tears.
and you have been watching me dance,
through the music.
even sometimes I grab your hand,
so we can dance together.
but you have to know,
darling,
I’ll dance harder,
with or without you.
and one day,
I would be diving,
through the scary sea,
instead of saying,
“it looks good from here”.
-Amerita
Tapaktuan, Aceh Selatan. February 23rd, 2019 – Pekanbaru, March 27th , 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Dikadoi Katak Hidup

PEOPLE AND INSTAGRAM

To be continued..